Jumat, 18 Oktober 2013

Yang Terpenting Bagaimana Isinya


           “Aku kan cantik, bodyku gitar spanyol, kulitku sawo matang, jari tanganku lentik, aku punya wajah manis yang sangat enak dipandang, blablablabla….”
            Bak sebuah kebanggaan bagi sebagian orang jika memiliki keindahan fisik.
Karena itu pula, bagi yang merasa tak dianugrahi sedikitpun untuk cantik pasti akan men-judge Tuhan nggak pernah adil.
            Padahal menjadi cantik bukan hanya sebuah kenikmatan, cantik pun adalah sebuah ujian bagi yang memikirkannya. Jelas amat ‘tidak baik’kan? Jika punya wajah cantik tapi kelakuan nggak ada yang bisa diandalkan. Kecantikan sebenarnya dilihat dari dalam, Sis! Jika sudah punya inner beauty maka Insya Allah akan terpancar kecantikan fisik.
            Ada sebuah muhasabah indah yang kukutip dari sebuah buku ‘Menggapai Qalbu Salim’ karya Aa Gym…
            ***
            Silahkan tatap cermin di hadapan Anda, dan lihatlah keadaan wajah Anda!!!
Seraya bertanya, “Hei wajah, apakah engkau ini kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana? Atau malah engkau ini akan hangus legam terbakar dalam bara Jahannam?”
            Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, “Hei mata, apakah engkau ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Maha Agung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah engkau ini yang terbeliak, melotot, menganga, terburai, dan meleleh ditusuk baja membara? Akankah engkau yang seringkali terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata, apa gerangan yang kau tatap selama ini?”
            Tanyalah, mulut kita ini, “Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thoyibah, laaillaahaillallah? Ataukah akan menjadi mulut yang berbusa yang akan menjulur-julur, menjadi pemakan buah zaqum yang getir, menghanguskan, dan menghancurkan setiap usus? Atau menjadi peminum lahar dan nanah yang panas membara? Saking terlalu banyak dusta, gibah, dan fitnah serta yang yang terluka karena mulut ini…?
            Wahai mulut, apa gerangan yang kau ucapkan? Wahai mulut yang malang. Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan! Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam! Berapa banyak kata-kata manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu…?”
            Berdialoglah dengan diri ini, “Hai…kamu ini anak shalih atau anak durjana? Apa saja yang telah kau peras dari orangtuamu selama ini? Tetapi, apa yang telah engkau berikan kepada keduanya, selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya? Tidak taukah engkau, betapa sesungguhnya engkau adalah mahluk yang tidak tahu membalas budi!”
            “Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersuka cita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar jahannam, yang kan terus terasa tanpa ampun, memikul derita tiada akhir?”
            “Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?”
            “Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam kotoran-kotorang yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?”
            Lalu ingatlah amal-amal kita, “Hai tubuh apakah kau ini mahluk mulia atau menjijikkan? Berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu itu?”
            “Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan di jalan kebebanaran bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk memenuhi selera rendah hawa nafsumu?”
            “Apakah engkau ini sahalih/shalihah seperti yang engkau tampakkan? Khusyukkah Salatmu, Zikirmu. Doamu…? Ikhlaskah engkau melakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah engkau ini menjadi riya` tukang pamer?”
            Sungguh! Betapa banyak perbedaan antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi, betapa aku telah tertipu oleh ‘topeng’ tersebut…
            Keindahan wajah yang terlihat sekarang mungkin akan sirna termakan waktu. Namun, keindahan akhlak tak kan hilang. Tapi justru akan terbayar oleh kenikmatan yang jauh lebih indah dari apa yang terlihat di dunia…Wallahu a`lam
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar